Pasar tradisional yang ada disetiap daerah selama ini terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau , meskipun ditiap tiap tempat terdapat petugas yang membersihkan sampah setiap hari. Namun demikian sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.
Stigma yang melekat pada pasar tradisional secara umum dilatar belakangi oleh perilaku dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan pengelola pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.
Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang tergolong di segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen, seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.
Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan di lapangan dijumpai peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,
Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat di bawahnya (Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional berserta para pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya, sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar tradisional dan para pedagangnya.
Berikut ini dicoba untuk menelaah permasalahan pasar tradisional yang peninjuannya berdasarkan pejabat dan institusinya yang terkai, dimulai dari lapis (layer) di tingkat paling atas atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang paling tinggi (pimpinan daerah), kemudian turun secara hirarkhi, berjenjang ke bawah yakni ke pihak-pihak (Kepala SKPD dengan jajarannya) yang memilki kewenangan dengan ruang lingkup yang lebih terbatas,
PASAR TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI DAERAH
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar tradisional di daerahnya. Di beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala SKPD) lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi tersebut, maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang agar para pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.
Dalam situasi di mana peran pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD, maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan Daerah (DINPENDA). Karena kompeteinsi utama DINPENDA adalah penghimpun PAD, maka sudah barang tentu SKPD ini tidak memiliki kompetensi sebagai pembina pasar tradisional. Pembinaan para pedagang pasar biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD) yang membidangi perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Model pembinaan yang melibatkan dua SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan baik, mengingat masalah koordinasi di antara dua SKPD tersebut. Di sini SKPD pembina pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus merasuk ke dalam unit kerja pasar tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah kewenangan DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan koordinasi ini sudah menjadi sesuatu hal yang lumrah karena kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya masalah ini menjadi salah satu sebab munculnya stigma buruk yang melekat pada pasar tradisional sehingga tidak menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat konsumen. Sebenarnya kondisi ini berujung pada berkurangnya jumlah pedagang yang berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat mengurangi besarnya retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang ideal adalah mewujudkan terjadinya keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil PAD dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan jual beli secara ekonomis dan mengikuti tradisi sosial budaya yang berkembang di daerah setempat.
Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan retribusi sebagai PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya merupakan jalan tengah, antara di satu sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar tradisional sebagai penyumbang PAD semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan peran pasar tradisional untuk menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan kalangan masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan pembinaan dengan mengambil jalan tengah yang menggabungkan kedua tugas seperti ini memang tidak sebaik jika fokus pembinaan pasar tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD yang memang memiliki kompetensi inti pembinaan pasar dan pedagang.
PERSAINGAN PASAR TRADISIONAL DENGAN PKL
Pembinaan pasar tradisional yang paling memerlukan upaya paling besar adalah pembinaan pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam pembinaan pedagang pasar tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain yang berada di sekitar pasar tradisional, terutama pedagang kaki lima (PKL).
Berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU (2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar tradisional di Bandung dan Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (JABODETABEK) diperoleh informasi bahwa salah satu pesaing utama para pedagang di pasar-pasar tradisional adalah para PKL. Sehingga keberadaan PKL di sekitar pasar hendaknya diperhatikan benar agar tidak menyaingi para pedagang pasar, karena mereka banyak yang berjualan menutupi bagian depan dan jalan masuk ke pasar yang ini menjadikan bagian luar pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan semrawut. Di kebanyakan pasar tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi tanpa solusi, akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar sehingga memancing para pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke luar meninggalkan lapaknya yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong, sebaliknya di luar pasar keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.
Untuk menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan PKL, maka perlu dilakukan penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang ditentukan, di mana di tempat yang baru PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan baru dan tidak menyaingi pedagang pasar tradisional. Untuk menghindari kesulitan dalam hal koordinasi, maka penanganan permasalahan (penataan dan pembinaan) pedagang pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di bawah satu atap (satu SKPD). Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani pembinaan pedagang pasar tradisional dan PKL adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (dan Pasar). Mengingat SKPD ini tidak saja bertugas membina pedagang, tetapi juga membina para pelaku di sektor industri industri terutama yang berskala usaha mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka pembinaan pasar tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup masing-masing yang lebih sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon IV. Di sini kewenangan pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam praktik, pengelolaan pasar tradisional banyak melibatkan kewenangan SKPD/instansi lain, seperti di bidang perparkiran, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur). Demikian juga, banyak pihak yang terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL, seperti yang berkaitan dengan penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta perdagangan eceran.
Penanganan permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL yang dirasakan paling ideal apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar (DPP) dimana di dalam struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani Pasar Tradisional termasuk pedagang tradisional di dalamnya dan Bidang yang khusus menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang menangani Pasar Tradisional dan Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling berkoordinasi dalam menangani kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP sebagai koordinator, sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan PKL dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar tradisional.
Ada pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para pedagang yang harus dibina, sehingga dapat diaktakan bahawa keberadaannya sama sekali tidak dikehendaki oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di sini Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan menertibkan PKL dan sekaligus melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan kemudahan untuk penertiban, bukan pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi tetap. Di sini PKL selalu dianggap menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa keberadaannya selain dibutuhkan masyarakat konsumen juga menjadi tempat penampungan pekerja informal, karena keterbatasan daya tampung lapangan kerja formal di daerah yang bersangkutan. Sudah barang tentu, pengerahan SATPOL PP dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara Pasar Tradisional dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban hanya menghasilkan ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu tempat) dan berjangka pendek, di lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah terus dan membutuhkan tempat berdagang yang semakin luas.
Stigma yang melekat pada pasar tradisional secara umum dilatar belakangi oleh perilaku dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan pengelola pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.
Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang tergolong di segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen, seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.
Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan di lapangan dijumpai peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,
Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat di bawahnya (Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional berserta para pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya, sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar tradisional dan para pedagangnya.
Berikut ini dicoba untuk menelaah permasalahan pasar tradisional yang peninjuannya berdasarkan pejabat dan institusinya yang terkai, dimulai dari lapis (layer) di tingkat paling atas atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang paling tinggi (pimpinan daerah), kemudian turun secara hirarkhi, berjenjang ke bawah yakni ke pihak-pihak (Kepala SKPD dengan jajarannya) yang memilki kewenangan dengan ruang lingkup yang lebih terbatas,
PASAR TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI DAERAH
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar tradisional di daerahnya. Di beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala SKPD) lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi tersebut, maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang agar para pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.
Dalam situasi di mana peran pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD, maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan Daerah (DINPENDA). Karena kompeteinsi utama DINPENDA adalah penghimpun PAD, maka sudah barang tentu SKPD ini tidak memiliki kompetensi sebagai pembina pasar tradisional. Pembinaan para pedagang pasar biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD) yang membidangi perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Model pembinaan yang melibatkan dua SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan baik, mengingat masalah koordinasi di antara dua SKPD tersebut. Di sini SKPD pembina pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus merasuk ke dalam unit kerja pasar tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah kewenangan DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan koordinasi ini sudah menjadi sesuatu hal yang lumrah karena kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya masalah ini menjadi salah satu sebab munculnya stigma buruk yang melekat pada pasar tradisional sehingga tidak menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat konsumen. Sebenarnya kondisi ini berujung pada berkurangnya jumlah pedagang yang berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat mengurangi besarnya retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang ideal adalah mewujudkan terjadinya keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil PAD dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan jual beli secara ekonomis dan mengikuti tradisi sosial budaya yang berkembang di daerah setempat.
Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan retribusi sebagai PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya merupakan jalan tengah, antara di satu sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar tradisional sebagai penyumbang PAD semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan peran pasar tradisional untuk menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan kalangan masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan pembinaan dengan mengambil jalan tengah yang menggabungkan kedua tugas seperti ini memang tidak sebaik jika fokus pembinaan pasar tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD yang memang memiliki kompetensi inti pembinaan pasar dan pedagang.
PERSAINGAN PASAR TRADISIONAL DENGAN PKL
Pembinaan pasar tradisional yang paling memerlukan upaya paling besar adalah pembinaan pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam pembinaan pedagang pasar tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain yang berada di sekitar pasar tradisional, terutama pedagang kaki lima (PKL).
Berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU (2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar tradisional di Bandung dan Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (JABODETABEK) diperoleh informasi bahwa salah satu pesaing utama para pedagang di pasar-pasar tradisional adalah para PKL. Sehingga keberadaan PKL di sekitar pasar hendaknya diperhatikan benar agar tidak menyaingi para pedagang pasar, karena mereka banyak yang berjualan menutupi bagian depan dan jalan masuk ke pasar yang ini menjadikan bagian luar pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan semrawut. Di kebanyakan pasar tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi tanpa solusi, akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar sehingga memancing para pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke luar meninggalkan lapaknya yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong, sebaliknya di luar pasar keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.
Untuk menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan PKL, maka perlu dilakukan penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang ditentukan, di mana di tempat yang baru PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan baru dan tidak menyaingi pedagang pasar tradisional. Untuk menghindari kesulitan dalam hal koordinasi, maka penanganan permasalahan (penataan dan pembinaan) pedagang pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di bawah satu atap (satu SKPD). Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani pembinaan pedagang pasar tradisional dan PKL adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (dan Pasar). Mengingat SKPD ini tidak saja bertugas membina pedagang, tetapi juga membina para pelaku di sektor industri industri terutama yang berskala usaha mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka pembinaan pasar tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup masing-masing yang lebih sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon IV. Di sini kewenangan pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam praktik, pengelolaan pasar tradisional banyak melibatkan kewenangan SKPD/instansi lain, seperti di bidang perparkiran, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur). Demikian juga, banyak pihak yang terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL, seperti yang berkaitan dengan penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta perdagangan eceran.
Penanganan permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL yang dirasakan paling ideal apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar (DPP) dimana di dalam struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani Pasar Tradisional termasuk pedagang tradisional di dalamnya dan Bidang yang khusus menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang menangani Pasar Tradisional dan Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling berkoordinasi dalam menangani kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP sebagai koordinator, sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan PKL dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar tradisional.
Ada pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para pedagang yang harus dibina, sehingga dapat diaktakan bahawa keberadaannya sama sekali tidak dikehendaki oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di sini Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan menertibkan PKL dan sekaligus melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan kemudahan untuk penertiban, bukan pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi tetap. Di sini PKL selalu dianggap menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa keberadaannya selain dibutuhkan masyarakat konsumen juga menjadi tempat penampungan pekerja informal, karena keterbatasan daya tampung lapangan kerja formal di daerah yang bersangkutan. Sudah barang tentu, pengerahan SATPOL PP dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara Pasar Tradisional dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban hanya menghasilkan ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu tempat) dan berjangka pendek, di lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah terus dan membutuhkan tempat berdagang yang semakin luas.
0 comments:
Posting Komentar